BAB 12
Perlindungan Konsumen
Perlindungan
konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan
untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.
Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda
pemberitahuan kepada konsumen.
Asas dan Tujuan
Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK
adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi
pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK
menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum
HAK
DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak
sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya
tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal
itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan
hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari
bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa.
2.
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
4.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
9.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha.
Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku
usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga
hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5
tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana
konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
Ø Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Ø Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
Ø
Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati;
Ø Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan
kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi
nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.
beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi kesempatan
kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban
pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak
bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian
pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK
pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga
harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang
antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG
DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat
dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.
larangan bagi pelaku
usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.
larangan bagi pelaku
usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.
larangan bagi pelaku
usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal
8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1)
tidak memenuhi atau
tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2)
tidak sesuai dengan
berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3)
tidak sesuai dengan
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
4)
tidak sesuai dengan
kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam
label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5)
tidak sesuai dengan
mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan
tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
6)
tidak sesuai dengan
janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7)
tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik
atas barang tertentu;
8)
tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;
9)
tidak memasang label
atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi
bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
10)tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya
kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih
spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan
yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha.
Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket
maupun iklan harus dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu
rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
·
Rusak: sudah tidak
sempurna (baik, utuh) lagi.
·
Cacat: kekurangan yang
menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
·
Bekas: sudah pernah
dipakai.
·
Tercemar: menjadi
cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.
Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.
Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah
berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan
utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu
sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
TANGGUNG JAWAB
PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan
kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa
dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata
lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai
dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku
usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti
kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada
tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam
pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha
dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1.
barang tersebut
terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2.
cacat barang timbul
pada kemudian hari;
3.
cacat timul akibat
ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4.
kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen ;
5.
lewatnya jangka waktu
penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan
SANKSI BAGI
PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum
tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang
tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan
mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah,
ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8
ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8
ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2
), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen
dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan
penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan
menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang
menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang
telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak
memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang
sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain
yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku
tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya
dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman
klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lima) tahun
penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di
dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang
masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang
mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar
menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering
dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang
kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan
terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11
huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan
tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia
pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah
melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa
masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang
atau
·
Perawatan kesehatan,
dan/atau
·
Pemberian santunan
·
Ganti rugi diberikan dalam
tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
Kurungan
:
1.
Penjara, 5 tahun, atau
denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15,
17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
2.
Penjara, 2 tahun, atau
denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14,
16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
3.
Ketentuan pidana lain
(di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika
konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Hukuman
tambahan , antara lain :
1.
Pengumuman keputusan
Hakim
2.
Pencabuttan izin
usaha;
3.
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
4.
Wajib menarik dari
peredaran barang dan jasa;
5.
Hasil Pengawasan disebarluaskan
kepada masyarakat.
SUMBER :
BAB 13
Anti
Monopoli dan Persaingan tidak sehat
Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Asas dan Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku
usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan
usaha.
Kegiatan yang
Dilarang
1. Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2. Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
4. Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
5. Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam pasar 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam pasar 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang meragkap sebagai direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Mengenai jabatan rangkap, dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang meragkap sebagai direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan Saham
Mengenai pemilikan saham, berdasarkan pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan, antara lain :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % pangsa satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha dan pelaku kelompok usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Mengenai pemilikan saham, berdasarkan pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan, antara lain :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % pangsa satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha dan pelaku kelompok usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Penggabungan, Peleburan dan pengambilalihan
Sementara itu, pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas dilarang.
Sementara itu, pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas dilarang.
Perjanjian yang Dilarang
1. Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian, maka :
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama dan atau melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian, maka :
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama dan atau melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan.
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal-Hal
yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli
1. Perjanjian yang dikecualikan
a. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cifta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang.
b. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan;
e. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatkan atau perbaikan standar kehidupan masyarakat luas;
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
a. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cifta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang.
b. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan;
e. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatkan atau perbaikan standar kehidupan masyarakat luas;
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
2. Perbuatan yang dikecualikan
a. perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha;
b. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
a. perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha;
b. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
3. Perbuatan dan atau Perjanjian yang Diperkecualikan
a. perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak menganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
a. perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak menganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebuah lembaga
yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal ini diatur berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999,
dibentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
- melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha;
- melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
- mengambil tindakan sesuai wewenang komisi;
- memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
- menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
- melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
- melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
- memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang;
- meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
- menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Sanksi
1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
2. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap
melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal
10 KUH Pidana berupa :
a. pencabutan izin usaha
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti
melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima
tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain
SUMBER :
·
Kartika Sari,
Elsi., Simangunsong, Advendi. 2007. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
·
amalmey.files.wordpress.com/2011/10/bab-viii.doc
BAB 14
Penyelesaian
sengketa
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam
kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti
adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
2.3 Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk
interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford,
negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi
formal.
Negosiasi merupakan suatu
proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua
pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk
di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau
memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu
Beberapa pengertian Negosiasi
1. Proses yang melibatkan upaya
seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
2. Proses untuk mencapai
kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu
dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu
dengan yang lain.
3. Negosiasi adalah suatu bentuk
pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak
bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.
Pola Perilaku dalam Negosiasi
1. Moving against (pushing):
menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak
lain.
2. Moving with (pulling):
memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi,
mengembangkan interaksi.
3. Moving away (with drawing):
menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak
menanggapi pertanyaan.
4. Not moving (letting be):
mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti
arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
Fungsi Informasi dan Lobi
dalam Negosiasi
1. Informasi memegang peran
sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi biasanya berada
dalam posisi yang lebih menguntungkan.
2. Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang
akan ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan lebih dulu.
3. Jika proses negosiasi
terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/ kedua pihak, maka lobyingdapat
dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan
lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.
Mediasi
Pengertian Mediasi
Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan
dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan
sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat
perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk
menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi
berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Prosedur Untuk Mediasi
1. Setelah perkara dinomori, dan
telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat
penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2. Setelah pihak-pihak hadir,
majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang
berperkara tersebut.
3. Selanjutnya mediator
menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri
dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang
berperkara.
4. Mediator bertugas selama 21
hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan
kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Arbitrase
Pengertian Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu
jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan
kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan
putusan.
Istilah arbitrase berasal dari
kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Azas- Azas Arbitrase
1. Azas kesepakatan, artinya
kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2. Azas musyawarah, yaitu setiap
perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara
arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri
3. Azas limitatif, artinya adanya
pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada
perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak
4. Azas final and binding, yaitu suatu putusan
arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan
dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya
sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Tujuan Arbitrase
Sehubungan dengan asas-asas
tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan
dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan
mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa adanya formalitas atau
prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan
perselisihan.
Perbandingan antara
Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Litigasi
|
Yang
mengatur
|
Para pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Prosedur
|
Informal
|
Agak formal
sesuai dengan rule
|
Sangat
formal dan teknis
|
Jangka
waktu
|
Segera ( 3-6
minggu )
|
Agak cepat
( 3-6 bulan )
|
Lama ( >
2 tahun )
|
Biaya
|
Murah ( low
cost )
|
Terkadang
sangat mahal
|
Sangat
mahal
|
Aturan
pembuktian
|
Tidak perlu
|
Agak
informal
|
Sangat
formal dan teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka
untuk umum
|
Hubungan para
pihak
|
Kooperatif
|
Antagonistis
|
Antagonistis
|
Fokus
penyelesaian
|
For the future
|
Masa lalu
|
Masa lalu
|
Metode
negosiasi
|
Kompromis
|
Sama keras
pada prinsip hukum
|
Sama keras
pada prinsip hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki
yang sudah lalu
|
Jalan buntu
|
Jalan buntu
|
Result
|
win-win
|
Win-lose
|
Win-lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu
ditolak dan mengajukan oposisi
|
Ditolak dan
mencari dalih
|
Suasana
emosinal
|
Bebas emosi
|
Emosional
|
Emosi
bergejolak
|
Negosiasi adalah cara
penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan
kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut
diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut
secara baik.
1. Ligitasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
- Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
- Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
- Kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
- Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
- Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
- Kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”
2. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
- Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
- Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
- Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
- Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
- Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
- Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
- Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
- Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
- Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
- Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
- Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
- Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
SUMBER :